Senin, 29 November 2010

MENCARI DAN MEMETAKAN DIVE POINT

Oleh : Bonifacius Arbanto, ST

Bagi dunia penyelaman istilah dive point sudah sangat familiar. Tapi bagi orang awam pasti akan bertanya-tanya apa itu dive point. Istilah dive point atau titik penyelaman pada hakekatnya adalah suatu lokasi di perairan yang didalamnya terdapat sesuatu obyek yang menarik untuk diselami. Istilah perairan ini terasa lebih tepat karena aktivitas penyelaman tidak selamanya dilakukan dilaut saja. Bila suatau saat kita melihat peta pariwisata dan kita menemukan adanya gambar kotak berwarna merah dengan garis putih melintang secara diagonal (gambar bendera sport diving) maka dapat dipastikan lokasi tersebut adalah sebuah dive point.

Keberadaan suatu dive point tidak lepas dari adanya objek yang menarik dibawah perairan tersebut. Obyek-obyek yang menarik yang terdapat dalam dive point dapat berupa :

1. Biota-biota laut dengan berbagai ukuran dan kekhasan masing-masing.

Contoh : Shark Point – BALI (Ikan Hiu); Manta Point – BALI (Ikan Pari Manta), Killer Whale Diving - Lofoten , Norwegia (orca Diving), Thomas Reef - Straits of Tiran, Red Sea (Terumbu karang)

1. Benda-benda buatan manusia yang sengaja atau tidak sengaja tenggelam/ditenggelamkan disuatu perairan.

Contoh : Tulamben - BALI (bangkai kapal US Liberty – Wreck Dive); Wreck Indonor – Karimunjawa; Blenheim Bomber - Coast of Delimara Malta (bangkai pesawat); Container - Pulau Seribu (Kontainer)


Gambar 1. Blenheim Bomber - Malta

1. Lokasi khas yang terbuat secara alami

Contoh : Turtle Cave – Sipadan (Gua bawah laut – Cave Diving), Payette Lake, Idaho (Lapisan es), Makaha Caverns - Oahu , Hawaii (lava tubes), North Wall – Pembrokeshire, Wales (wall dive), Barracuda Lake - Coron, Palawan - the Philippines (Selam di air tawar dengan suhu yang berbeda tiap lapisan), Concord Falls, Grand Etang Nature Reserve – Grenada (Kolam air terjun)



Gambar 2.Turtle Cave - Sipadan

Hal-hal tersebut menjadikan suatu lokasi penyelaman menarik untuk diselami. Dari gambaran diatas dapat kita ketahui bahwa fungsi utama dari dive point adalah mempermudah penyelam untuk menemukan lokasi selam yang menarik sesuai dengan keinginan, tingkat kesulitan dan tantangan yang dikehendaki.

Dalam penentuan suatu Dive point ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :

1. Status lokasi dive point

Yang dimaksud dengan status lokasi dive point adalah status perairan tempat dive point tersebut berada, apakah termasuk dalam daerah konservasi, daerah latihan perang, daerah khusus penelitian, daerah jalur pelayaran kapal, daerah buangan limbah, daerah khusus pariwisata dll. Hal ini penting diketahui karena jangan sampai keberadaan dive point tersebut mengganggu fungsi-fungsi yang sudah ada.

1. Obyek khas dive point

Kunci sukses suatu lokasi dapat menjadi dive point yang menarik adalah apabila lokasi tersebut memiliki sesuatu yang khas, baik yang alami atau sengaja dibuat oleh manusia..

1. Keamanan dive point

Dalam penentuan suatu dive point perlu diperhatikan keamanan para penyelam saat menuju – selama – setelah (termasuk didalamnya mengenai entry dan exit ) melakukan penyelaman dilokasi tersebut. Hal ini sangat penting karena aktifitas penyelaman merupakan aktifitas berbahaya dengan resiko yang tinggi. Guna mencegah akibat-akibat yang tidak diinginkan maka dalam penentuan dive point harus ditentukan juga apakah lokasi tersebut diperuntukan untuk penyelam pemula atau penyelam berpengalaman. Yang tidak kalah penting adalah jalur penyelaman yang aman dari mulai titik masuk (entry) sampai titik muncul dipermukaan.

1. Tingkat Kesulitan Dive Point

Banyak penyelam tertantang untuk menyelam pada dive point dengan tingkat kesulitan tinggi seperti wreck (bangkai kapal), cave (gua), deep, current (arus), ­Zero Visibility. Tingkat kesulitan ini bertambah apabila dilakukan pada malam hari (Night dive). Dengan semakin tinggi kesulitan yang ada maka semakin banyak peralatan tambahan yang dibawa dan tentunya hanya penyelam berpengalaman yang diperbolehkan menyelam dilokasi tersebut.




Gambar 3. Tingkat kesulitan Cave dive

1. Waktu terbaik untuk menyelam di dive point

Aktivitas penyelaman disuatu dive point suka tidak suka tergantung pada kondisi alam terutama musim dan cuaca. Oleh karena itu suatu dive point yang baik harus memiliki data kapan waktu terbaik untuk melakukan penyelaman dilokasi tersebut. Selain itu beberapa obyek khas hanya akan muncul pada malam hari, biasanya merupakan hewan-hewan nocturnal Hal ini penting guna memberikan kepuasan bagi para penyelam yang melakukan penyelaman di dive point tersebut.



Tahapan-tahapan pencarian dan pemetaan dive point

Suatu lokasi tidak akan pernah menjadi dive point apabila orang tidak pernah mengetahui keberadaan lokasi itu dan tidak dilakukan aktivitas penyelaman didalamnya. Oleh sebab itu perlu adanya pencarian dan pemetaan dive point pada lokasi tersebut agar diketahui keberadaan dive point dilokasi tersebut. Dalam proses pencarian dan pemetaan dive point dapat dilakukan melalui tahapan-tahapan berikut:

1. Pemilihan perairan yang akan dipetakan

Pemilihan lokasi perairan yang akan dicari dive point-nya merupakan langkah pertama yang harus dilakukan. Penentuan ini sangat perpengaruh pada tahap-tahap berikutnya. Dalam penentuan lokasi juga perlu diperhatikan mengenai keamanan lokasi, aksesbilitas, daya dukung lingkungan, nilai jual, sarana dan prasarana.



2. Pemeriksaan Status Lokasi

Periksa status lokasi tersebut , apakah termasuk dalam daerah konservasi, daerah latihan perang, daerah khusus penelitian, daerah jalur pelayaran kapal, daerah buangan limbah, daerah khusus pariwisata dll. Status lokasi dapat kita tanyakan kepada Pemerintah daerah / BTN / BKSDA / Dinas Kelautan dan Perikanan / TNI AL / LSM.



3. Pencarian Informasi Sekunder

Carilah informasi sebanyak-banyaknya mengenai lokasi tersebut dari media (majalah, surat kabar, internet); masyarakat setempat; BTN, LSM; Laporan-laporan penelitian kalangan akademisi, Pemerintah Daerah dan TNI AL. Beberapa contoh informasi-informasi yang dapat menunjang pencarian dan pemetaan dive point :

· Biota khas yang ada (terumbu karang, ikan hiu, anemon, ikan pari manta, kima, penyu dll)

· sejarah obyek (terutama untuk obyek-obyek bawah air buatan manusia, contoh : sejarah tenggelamnya Kapal Indonor di Karimunjawa)

· Parameter lingkungan (pasang surut, kecerahan, gelombang, arus, salinitas, pH, musim dll)

· Daerah-daerah ditemukan banyak ikan (salah satu indikator adanya wreck dilokasi tersebut adalah ditemukannya banyak ikan dengan ukuran besar disekitar lokasi tersebut )



4. Pengiriman Tim Survey

Kirimkan tim survey terlebih dahulu untuk mendapat data awal lokasi. Fungsi lain dari tim survey adalah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum kedatangan tim pencarian dan pemetaan dive point. Beberapa hal penting yang harus disiapkan tim survey adalah:

· Keberadaan sarana transportasi menuju daerah pencarian dive point. Sarana transportasi yang dibutuhkan tidak hanya transportasi laut (kapal/perahu) tetapi juga transportasi darat (Mobil/bus/truk/gerobak dll). Bila sudah diperoleh dapat dilakukan negosiasi harga dan mekanisme pemakaian sarana transportasi.

· Keberadaan sumber logistik dan tempat tinggal (Basecamp) yang terdekat dengan lokasi yang akan dicari dive point-nya. Apabila ditemukan sumber logistik dan tempat tinggal (basecamp) yang cukup memadai dan dekat dengan lokasi didaerah maka tim pencari dan pemetaan dive point tidak harus membawa logistik dari daerah asal, cukup bekerjasama dengan masyarakat lokal. Pemberian down payment dan mekanisme penggunaan logistik menjadi salah satu bagai ndari negosiasi dengan masyarakat yang diajak kerjasama. Menjalin kerjasama dari masyarakat lokal sangat penting dilakukan karena sedikit banyak masyarakat lokal tahu tentang kondisi daerah tersebut dan dapat dimintai bantuan apabila terjadi sesuatu.

· Keberadaan sarana pelayanan kesehatan (Rumah sakit/Puskesmas/dokter/mantra dll) terdekat dengan lokasi. Keberadaan sarana kesehatan ini sangat penting apabila terjadi kecelakaan selama proses pencarian dan pemetaan dive point. Keberadaan Camber terdekat harus diketahui dan diperkirakan waktu tempuh dari lokasi menuju Camber. Hal ini bertujuan apabila terjadi sesuatu yang fatal akibat penyelaman dapat segera dilarikan menuju Camber terdekat.

· Hubungi pihak penguasa otoritas daerah tersebut (Kepala Desa, Camat, Kepolisian, Angkatan Laut, BTN dll) untuk meminta izin dan pemberitahuan mengenai kegiatan yang akan dilaksanakan.

· Carilah informasi dari masyarakat setempat tentang kondisi perairan tempat akan dicari dive point-nya

· Carilah orang setempat yang tahu situasi daerah dan perairan tersebut. Jika memungkinkan orang tersebut pernah menyelami perairan itu (biasanya para penyelam tradisional). Orang setempat tersebut nantinya dijadikan bagian dari tim untuk memandu selama proses pencarian dan pemetaan dive point.

· Lakukan snorkeling / diving disekitar lokasi yang hendak dicari dive point-nya. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran kasar yang nantinya akan dipresentasikan dihadapan tim. Jika memungkinkan tentukan posisi entry dan exit temporal untuk panduan tim. Jangan lupa catat setiap hasil pengamatan yang ada dan beri tanda (bisa menggunakan GPS) lokasi tersebut.



5. Pembentukan Tim

Keberhasilan suatu kegiatan tergantung dari tim yang melaksanakan. Oleh karena itu dalam seleksi pemilihan anggota tim perlu dilakukan dengan seksama dengan pertimbangan yang matang. Sikap profesionalisme masing-masing calon anggota tim sangat dibutuhkan, karena ketika seorang calon anggota tim tidak dapat menjadi anggota tim maka dia dengan jiwa besar harus tetap mendukung dan membantu persiapan tim. Begitu pula dengan calon yang ditetapkan menjadi anggota tim harus bersikap profesional dalam mengemban tanggungjawab melaksanakan kegiatan. Sebagai gambaran ideal dalam suatu tim dibutuhkan individu dengan kemampuan sebagai berikut :

· Anggota tim penyelam wajib mempunyai kemampuan selam yang baik terutama dalam pengaturan buoyancy dan penguasaan alat SCUBA dan peralatan tambahan.

· Terdapat beberapa orang yang dapat menjadi leader selam. Leader selam yang baik dapat membaca lokasi penyelaman dan mampu bertindak cepat apabila terjadi masalah selama proses penyelaman.

· Terdapat banyak anggota tim yang menguasai metode pengukuran dan identifikasi obyek khas dari suatu dive point. Contoh: apabila obyek khas dive point berupa terumbu karang maka sebagian besar anggota tim harus dapat melakukan transek dan identifikasi karang; jika obyek khas berupa Wreck maka sebagian besar anggota tim harus menguasai teknik pengukuran dan identifikasi bagian-bagian Wreck tersebut.

· Minimal satu orang yang dapat menggunakan GPS, kompas dan membaca peta.

· Terdapat anggota tim yang dapat mengukur parameter lingkungan.

· Dalam tim harus ada seseorang yang dapat merekap data yang telah diperoleh dan mampu melaporkan saat rapat evaluasi dan perencanaan penyelaman.

· Terdapat anggota tim yang menguasai masalah perbaikan SCUBA dan kompresor. Personel ini mutlak harus ada karena ketika dilapangan akan selalu timbul permasalahan dengan peralatan. Jangan sampai kegiatan gagal karena kerusakan alat.

· Terdapat sedikitnya satu orang drafter yang dapat menggambarkan kondisi dive point. Drafter ini berfungsi mengambarkan kondisi dive point yang hasilnya dapat digunakan pada saat evaluasi, perencanaan selam berikutnya dan pembuatan laporan akhir. Keberadaan drafter yang memiliki kemapuan pemetaan obyek sangat mutlak untuk pencarian dive point yang berupa wreck atau Cave

· Terdapat anggota tim yang menguasai P3K, bila memungkinkan adalah dokter atau perawat yang bergabung dengan tim.

· Apabila logistik dari masyarakat lokal tidak dapat diperoleh. Maka dibutuhkan anggota tim yang mampu membuat logistik untuk tim. Hal ini penting karena aktivitas penyelaman membutuhkan energi yang banyak, sehingga dibutuhkan makanan dan minuman yang dapat menunjang kesehatan anggota tim. Untuk mempermudah dalam penyediaan bahan makanan dan minuman instant cukup membantu dalam proses penyediaan logistik tim.



6. Kajian Hasil Survei & Pembekalan Tim

Bedasarkan hasil survey dan pengolahan data sekunder maka disusunlah suatu kajian dan strategi dalam pencarian dan pemetaan dive point. Kajian itu meliputi kelayakan lokasi untuk dicari dive point-nya, waktu yang tepat untuk pelaksanaan kegiatan, tingkat keamanan, kebutuhan dan, jumlah personil, jumlah peralatan, kemungkinan kendala yang muncul dilapangan. Dalam kajian juga ditentukan jumlah dive point yang akan dibuat dan lama waktu kegiatan, hal ini penting dilakukan sebagai acuan pembuatan strategi. Berdasarkan hasil kajian maka disusunlah strategi yang tepat sehingga kegiatan pencarian dan pemetaan dive point dapat berlangsung efektif, efesien dan aman. Strategi ini akan dipaparkan pada saat pembekalan materi dan teknik.

Pembekalan dilakukan minimal sebulan sebelum tim pencarian dan pemetaan dive point diterjunkan, masing-masing individu harus dibekali dengan teknik dan materi yang akan dimanfaatkan dalam proses pencarian dan pemetaan dive point. Selain pembekalan perlu juga diadakan simulasi-simulasi dan skenario apabila terjadi suatu masalah dilapangan. Dengan adanya pembekalan materi dan teknik yang baik diharapkan tim yang berangkat dapat mengatasi segala masalah yang timbul. Jangan lupa dalam proses pembekalan ini perlu ditentukan pembagian kelompok kerja dan sistematika kerja serta jadwal penyelaman.



7. Persiapan Peralatan

Kesiapan teknik dan materi yang dimiliki oleh tim pencarian dan pemetaan dive point tidak ada gunanya apabila tidak didukung oleh peralatan yang memadai. Dalam pencarian dan pemetaan dive site terdapat peralatan standar yang harus dibawa (lihat Tabel 1), jumlah masing-masing item yang dibawa harus disesuaikan dengan jumlah anggota tim, jenis penyelaman, tingkat kesulitan lokasi, keberadaan toko peralatan terdekat dan lama kegiatan. Untuk berjaga-jaga sebaiknya masing-masing item harus ada cadangannya, terlebih apabila lokasi kita terpencil dan aksesnya susah dituju.






Gambar 4. Peralatan Pendukung



NB : - Peralatan yang tercantum diatas adalah peralatan standar, untuk obyek dive point yang khusus harus ditambah dengan peralatan pendukung lainnya.

- Apabila harus memasak sendiri bawalah peralatan masak yang sederhana dan multifungsi serta bahan-bahan yang mudah memasaknya (instant)



Setiap peralatan yang dibawa harus dicek sebelum dan setelah pemakaian. Hal ini bertujuan agar setiap kerusakan yang timbul sedini mungkin diketahui dan dapat diatasi.



8. Pelakasanaan Pencarian dan Pemetaan Dive Point

Setibanya dilokasi ketua tim segera melapor kepihak otoritas wilayah sedangkan anggota lain dapat menuju basecamp yang telah dipersiapkan tim survey. Penempatan dan penghitungan ulang peralatan selam dan kompresor menjadi prioritas utama yang harus dikerjakan setelah sampai di basecamp. Untuk BCD dan regulator dapat digantung atau diletakan diatas matras (terlindungi dari pasir dan sianr matahari langsung) Masker, snorkel dan fin dapat diletakkan diatas matras atau terpal dimana lokasi peletakan harus terlindung dari sinar matahari langsung. Petugas kompresor segera mencari lokasi untuk pengisian tabung dan mempersiapkan untuk mulai pengisian. Lokasi yang dipilih sebaiknya agak jauh dari pemukiman dan tidak dibawah pohon apabila pengisian tabung dilakukan malam hari (dapat menimbulkan keracunan CO2).

Rapat koordinasi merupakan acara yang wajib dilakukan dimana biasanya dilakukan malam hari setelah makan malam, rapat ini berisi mengenai perencanaan untuk kegiatan esok harinya dan evaluasi terhadap kegiatan yang telah dilakukan. Sebelum proses rapat dilaksanakan semua data harus direkap terlebih dahulu. Hal ini dilakukan agar dalam rapat nanti dapat diketahui secara jelas apa yang telah dapat dan kekurangan apa yang harus diperbaiki.

Pengisian tabung dan persiapan perlatan yang akan dibawa dilakukan setelah rapat koordinasi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan U/W kamera atau video adalah keberadaan film/kaset, baterai, kondisi karet sil, pemakaian silicon grease, lampu. Sebaiknya hanya beberapa anggota saja yang diperkenankan mengoperasikan dan merawat U/W kamera atau video. Hal ini penting dilakukan untuk memperkecil kemungkinan rusak.





Gambar 5. Under Water Video with double side lamp

Kegiatan pemanasan (olah raga) wajib dilakukan dilakukan setiap pagi hari oleh setiap anggota tim tanpa kecuali. Sering kali anggota tim malas untuk melakukan pemanasan dengan alasan masih mengantuk tetapi alasan ini tidak dapat ditolelir. Pemanasan bagi seorang penyelam mempunyai arti penting karena dengan pemanasan resiko-resiko kram (kejang otot), cedera, flu dsb dapat ditekan. Ketika seorang anggota tim tidak melakukan pemanasan dan pada saat menyelam mengalami kram/cidera yang pada akhirnya pasti akan mengganggu kinerja tim. Oleh karena itu pemanasan mutlak bagi setiap anggota tim. Sembari melakukan pemanasan setiap anggota tim wajib melaporkan kondisi kesehatan masing-masing. Hal ini berkaitan dengan jadwal penyelaman yang sudah dibentuk, apabila ternyata anggota tim yang harus menyelam ada yang sakit maka harus ada penggantinya.

Sebelum menuju ke titik penyelaman bagian peralatan mendata dan mencatat kondisi peralatan yang akan digunakan terlebih dahulu. Sebaiknya selama didarat SCUBA telah di setting oleh para penyelam yang akan turun pertama. Hal ini bertujuan agar penyelam dapat mencocokan ukuran BCD dengan badannya masing-masing.

Anggota tim sebaiknya menggunakan kapal/perahu/rubber boat untuk mencapai lokasi tersebut, hal ini bertujuan untuk menghemat tenaga dan waktu. Pengaturan posisi peralatan dan anggota tim didalam kapal perlu diperhatikan dengan baik. Hal ini bertujuan selain untuk keamanan selama perjalanan dan efektifitas saat pemakaian alat. Ketika hendak menuju lokasi perhatikan kondisi cuaca saat itu.. Bila dirasa cuaca kurang baik dan berpotensi timbul badai atau ombak besar maka sebaiknya pemberangkatan ditunda sampai cuaca membaik. Pertimbangan ini penting untuk diperhatikan karena keselamatan tim menjadi prioritas utama.

Ketika sampai dilokasi maka proses kegiatan yang dilakukan dapat dijelaskan secara garis besar sebagai berikut :

a. Turunkan dua orang untuk melakukan mantatow keberadaan obyek sesuai dengan koordinat hasil survey. Sebaiknya salah satu yang melakukan mantatow adalah orang yang ikut dalam tim survey.

b. Berdasarkan laporan tim mantatow, jika lokasi tersebut diperkirakan terdapat obyek yang dikehendaki sebagai obyek khas calon dive point maka turunkan beberapa penyelam untuk mempersiapkan pengambilan data dan memantau keadaan obyek secara umum. Contoh: menggelar line transek (obyek khas terumbu karang), memasang pelampung tanda stasiun (obyek khas wreck dan Cave).

c. Anggota tim yang bertugas untuk mengukur parameter lingkungan dapat mulai pengambilan data dan dilakukan pula penetapan kordinat menggunakan GPS. Perlu diingat setiap setiap pengambilan data harus dicatat pula jam pengambilan data dan dilakukan ulangan minimal 3 kali.

d. Tim pengambilan data diterjunkan setelah mendengar laporan dari tim persiapan pengambilan data (nomor b). Data yang diambil disesuaikan dengan obyek khas dilokasi tersebut dan obyek tambahan. Bersama tim ini diterjunkan pula anggota tim yang bertugas melakukan pengambilan gambar atau video termasuk didalamnya drafter yang menggambar sketsa obyek dan lingkungan sekitarnya. Pada proses ini biasanya dilakukan lebih dari satu trip. Jika memungkinkan diambil pula data-data obyek lokasi tersebut pada malam hari. Karena pada malam hari biota-biota nocturnal menampakan diri, sehingga data-data yang diperoleh lebih lengkap.

e. Berdasarkan data-data yang diperleh, mulailah disusun letak entry, jalur penyelaman dan exit dilokasi dive point tersebut. Ketika letak-letak tersebut sudah tersusun dengan rapi maka sebagai uji coba dive point tersebut turunkan beberapa penyelam yang terbagi dalam beberapa trip untuk mencoba jalur dive point yang dibuat termasuk pengujian entry, exti, dan keberadaan obyek tambahan. Jika laporan tim penguji menyatakan jalur tersebut sudah layak sebagai untuk sebuah dive point maka jalur tersebut dipetakan dan dicatat koordinat entry dan exit-nya.



Proses pembentukan satu dive point jarang sekali dapat diselesaikan dalam satu hari, hal ini tergantung dengan besar kecil dive point yang akan dibuat.

Kegiatan penyelaman setiap hari sebaiknya diakhir sekitar jam 4 sore , hal ini bertujuan supaya tim masih punya waktu untuk membersihkan dan mengeceknya alat. Pembersihan dan pengecekan alat wajib dilakukan dengan tujuan agar sisa-sisa garam yang ada di alat dapat hilang dan apabila terdapat kerusakan dapat segera diperbaiki. Jika dengan menghentikan penyelaman jam 4 sore dirasa mengurangi waktu penyelaman maka langkah yang bijaksana adalah kegiatan penyelaman dimulai lebih pagi dan kegiatan tetap berakhir jam 4 sore.

Apabila ada penyelaman malam hari, pastikan semua alat dalam kondisi baik dan penyelam yang boleh melakukan penyelaman malam adalah penyelam yang berpengalaman (bersertifikat). Sebaiknya tiap penyelam wajib membawa masing-masing satu senter dan leader membawa minimal 2 senter (1 senter utama dan 1 senter cadangan). Dalam penyelaman malam (Night dive) jumlah anggota yang menyelam tiap tripnya jangan terlalu banyak sekitar 5-6 orang saja. Hal ini penting dipehatiakan terutama menyangkut masalah keselamatan penyelam.

Setelah semua proses pendataan, pengujian dan pemetaan pada sebuah dive point selesai dilakukan tindakan selanjutnya adalah penamaan dive point tersebut. Penamaan biasanya didasarkan pada obyek khas pada dive point tersebut atau nama-nama lain sesuai dengan kesepakatan dan pertimbangan tim.





9. Evaluasi kegiatan

Evaluasi kegiatan secara menyeluruh dilakukan setelah kegiatan selesai dilakukan. Evaluasi ini bertujuan untuk melihat apakah kegiatan tersebut sudah sesuai dengan apa yang direncanakan dan hasil yang ingin didapatkan. Tingkat keberhasil suatu kegiatan dapat dilihat dengan membandingkan antara parameter keberhasilan yang sudah disusun dalam proposal dengan kenyataan yang telah dilakukan. Selain itu kendala-kendala yang timbul selama kegiatan berlangsung termasuk hal yang dievaluasi. Hasil evaluasi ini dimasukan kedalam laporan pertanggungjawaban sebagai suatu rekomendasi untuk kegiatan pencarian dan pemetaan dive point selanjutnya



10. Pembuatan Laporan & Publikasi Hasil

Hasil-hasil yang diperoleh dari data primer dan sekunder selanjutnya diolah dan dibuat dalam bentuk laporan. Laporan ini terdiri dari laporan pertangungjawaban kegiatan dan laporan teknis mengenai dive point tersebut. Laporan pertanggungjawaban kegiatan adalah laporan yang berisi tentang segala sesuatu tentang kegiatan ini, mulai dari maalah keuangan, pelaksanaan kegiatan, hasil kegiatan, dll. Laporan ini sebaiknya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan kegiatan ini seperti : Intansi/lembaga tempat tim bernaung, Instansi/lembaga pemberi dana, otoritas daerah tempat pelaksanaan kegiatan, sedangkan laporan teknis mengenai dive point hanya berisi mengenai data-data teknis mengenai dive point dan sejarahnya yang nantinya dapat digunakan sebagai acuan untuk menyelam dilokasi tersebut. Selain itu laporan ini nantinya yang akan dipublikasikan baik di internet, majalah, surat kabar dll. Salah satu contoh mengenai laporan teknis mengenai dive point dapat dilihat dilampiran.



DAFTAR PUSTAKA ARTIKEL DAN GAMBAR



Gambar 1. Blenheim Bomber – Malta © Jeffrey Pappalardo (Dive Guide)

Gambar 2. Turtle Cave – Sipadan © Rik Vercoe (BSAC Advanced Instructor)

Gambar 3. Tingkat kesulitan Cave dive © Johnny Richards

Gambar 4. Peralatan Pendukung © www.AdvancedDiverMagazine.com

Gambar 5. Under Water Video with double side lamp © ScubaCam Pte Ltd



Contoh Laporan mengenai dive point



JUDUL DIVE POINT



Nama dive point :

Lokasi :

Status Wilayah :

Tim Penyusun :

Tanggal pengambilan data :

Obyek khas :

Obyek tambahan :

Posisi entry :

Pasang surut :

Salinitas :

pH :

Waktu terbaik penyelaman :

PROSEDUR PENYELAMAN

SKALA LATIHAN PERAIRAN TERBUKA

Compiled By Nurdiana@ScubaDiver.org This e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it



1. PRA PENYELAMAN

· Buatlah Dive Planning

- tentukan tujuan penyelaman (LPT skala Dive Training)

- tentukan lamanya penyelaman (ABT)

- tentukan kedalaman yang akan ditempuh (usahakan tidak melebihi 20 meter, perhatikan kondisi tim. Dianjurkan untuk berada batas aman tanpa Dekompresi yaitu 15 meter sampai 20 meter).

- tentukan titik entry dan titik exit penyelaman, situasikan dengan keadaan alam. Sebagai contoh apabila entry dari dermaga dan exit dari tempat yang sama maka usahakan mengetahui titik pusat orientasi sebagai patokan. Jika kondisi mengharuskan dijemput oleh kapal (exit dari tempat yang berbeda) usahakan mendekati tubir/orientasikan untuk mendekati ke tempat yang aman, dan pastikan membawa diver below.

· Persiapan tim

- penyetingan alat dilakukan sendiri oleh anggota tim, dan pada kondisi yang tidak memungkinkan untuk itu maka lakukan kroscek alat oleh individu yang akan melakukan penyelaman (kondisi, kesiapannya).

- Beberapa tindakan yang dimungkinkan terjadi pada penyelaman (wajib diketahui oleh seluruh tim).



1. Kondisi darurat (anggota tim ada yang tidak bisa turun karena faktor tidak bisa equalizing atau kepanikan saat turun).

· Pada saat tim membentuk formasi saat turun dan salah satu anggota tim ada yang mengalami gangguan maka tim dengan leader tetap turun sedangkan anggota yang bermasalah di temani budy nya, usahakan jangan sampai lepas. Posisi sweaper harus berada paling akhir (waktu turun), setelah sweaper tahu kondisi anggota tim ada yang bermasalah maka ambil tindakan untuk segera menangani anggota tersebut sedangkan pasangannya tetap turun mengikuti tim sambil membawa diver below yang diterima dari sweaper, dengan catatan tim berkumpul dalam satu kelompok tidak berjalan dan dalam kondisi menunggu; serta sweaper benar-benar pasti telah menangani anggota yang bermasalah itu.

· Dalam kondisi yang parah, anggota tim dibantu oleh sweaper mengatasi gangguan yang ada dan apabila tidak memungkinkan untuk mengikuti tim(turun menyelam) maka sweaper mengambil tindakan untuk membawa anggota yang bermasalah keatas. Di permukaan pastikan ada helper yang menangani, jika memungkinkan anggota yang bermasalah dibawa ke pulau dengan didampingi helper.

· Setelah melakukan tindakan tersebut sweaper kembali turun bergabung dengan tim dan memberi informasi kepada leader. Diver below kembali dipegang oleh sweaper dan anggota yang budy nya bermasalah secara kondisional bisa dipasangkan dengan pasangan yang lain.

2. Kondisi darurat dengan banyak anggota tim yang mengalami gangguan saat turun.

· Dalam kondisi seperti ini maka leader membantu anggota yang bermasalah sedangkan tim yang lainnya tetap turun dan pastikan tidak berpisah (membentuk formasi) dan tidak berjalan, atau pada kondisi yang memungkinkan menunggu didalam kolom air dan membawa diver below yang diterima dari sweaper. Kondisi ini prosedur penanganannya sama dengan poin ke-1 diatas.

3. Masalah khusus yang kemungkinan akan dialami saat menyelam.

· Apabila O ring ada yang meletus pada salah satu anggota tim, maka komunikasikan dengan budy nya dan jangan panik. Bila kondisi memungkinkan lakukan budy breathing dengan mengecek cadangan udara yang dimiliki oleh pasangan yang bermasalah tadi. Lakukan komunikasi pada leader atau sweaper, dan pastikan leader mengetahui keadaan ini. Leader mengambil tindakan untuk mengecek kembali cadangan udara tiap anggota tim dan bila tidak memungkinkan untuk meneruskan penyelaman segera akhiri penyelaman.

· Apabila kondisi ada anggota yang bermasalah dengan maskernya (masker selalu berembun), maka posisi anggota yang bermasalah dan pasangannya ditempatkan dibelakang leader supaya leader dapat dengan mudah mengontrol kecepatan kayuhan dan mengawasi tim. Dan pada kondisi yang parah segera akhiri penyelaman.

- Lakukan deco stop saat naik ke permukaaan. Jika kondisi tidak memungkinkan untuk memegang benda yang statis, maka bergandengan tanganlah setiap anggota tim dengan leader sebagai pusat formasi(lingkaran) pada kedalaman yang ditentukan. Hal ini berlaku juga saat kondisi berarus kencang. Posisi sweaper berada paling akhir dan mengawasi keadaan tim yang ada diatasnya (yang sedang melakukan deco stop) dan pastikan kelengkapan anggota tim. Bila terjadi sesuatu hal maka segera komunikasikan pada leader dan anggota tim tetap membentuk formasi.

· Penjelasan tujuan penyelaman

· Lakukan kroscek alat dan kelengkapan (sabuk pemberat skin dive dan scuba set) antar budy saat sebelum masuk ke permukaan air ataupun setelah dipermukaan air.

· Pastikan leader mengetahui kondisi alat yang akan dipakai.



1. PENYELAMAN
* Berdoalah sebelum melakukan penyelaman
* Cek ulang keadaan alat dan kelangkapan tiap anggota tim, leader bertugas untuk mengecek kesiapan semua itu.
* Catatlah udara yang dibawa oleh setiap anggota tim.
* Masker dikalungkan pada leher untuk menjaga hilang saat terkena ombak.
* Cek second stage tiap anggota tim dan pastikan kran tabung terbuka.
* Apabila second stage macet tidak keluar udara tapi kondisi kran terbuka maka lakukan peniupan pada bagian tersebut.
* Apabila ada udara keluar dari sambungan bagian antara selang dengan DPG maka tutup kran terlebih dahulu lalu kemudian tekan bagian selang dan DPG tersebut kemudian buka kembali kran.
* Hal pokok yang harus dikuasai oleh seorang leader :

- Orientasikan medan dengan mencari titik patokan dimana akan mulai penyelaman dan kemana arah yang akan dituju.

- Lengkapi diri dengan jam

- Lengkapi diri dengan alat komunikasi(contoh besi yang bisa dipukulkan pada tabung saat kondisi tertentu yang telah disepakati)

- Tidak berjalan terlalu cepat, kondisikan dengan keadaan tim.

- Setiap 10-15 meter jarak perjalanan, cek kondisi tim(kelengkapan anggota) tanpa harus berhenti, cukup dengan melihat kea rah belakang saja.

- Setiap 50 meter perjalanan cek tim (baik kondisi udara maupun peralatannya)

- Asumsikan satu kayuhan adalah satu meter (1 kayuh=1 meter)

- Berpatokan pada dive planning

- Lakukan deco stop saat naik ke permukaan, dengan mencari benda statis atau pada kondisi tertentu dapat dengan memegang tali diver below.

- Pastikan anggota naik dengan menggunakan kayuhan fins dan bukan dengan mengembungkan BC.

- Pertahankan formasi dalam tim (lingkaran).

- Lakukan pengecekan kelengkapan tim dan kondisi anggota tim apakah ada yang terluka atau tidak saat dipermukaan baik sebelum maupun setelah penyelaman.

- Catatlah banyaknya udara dalam tabung pada tiap anggota tim sebelum penyelaman dan setelah penyelaman

- Saat berombak posisikan anggota tim untuk membelakangi ombak dan membentuk formasi berbanjar pada saat dipermukaan setelah penyelaman (pada situasional).

- Posisikan tim dalam formasi (lingkaran) untuk mempermudah pengawasan tim

· Beberapa hal yang harus dikuasai seorang sweaper :

- Posisi saat turun sweaper berada paling akhir dengan mengawasi keadaan anggota tim.

- Segala sesuatu hal komunikasikan dengan leader terutama pada kondisi trouble pada anggota.

- Membawa diver below

- Pada saat naik posisi naik paling akhir dengan mengawasi keadaan tim dari bawah (kelengkapan dan keadaannya)

- Lengkapi diri dengan alat komunikasi.

· Lakukan penyelaman sesuai dengan dive planning



1. PASCA PENYELAMAN

· Tiba di dermaga/kapal tim berikutnya yang akan memakai alat tersebut mengetahui kondisi alat sebagai laporan pada leader.

· Segala kerusakan alat dilaporkan pada seksi peralatan dan diketahui siapa yang memakai alat tersebut.

· Pertukaran alat dilakukan dipermukaan air bila kondisi memungkinkan (udara masih cukup untuk penyelaman selanjutnya).

· Pertukaran alat diawasi oleh leader dan sweaper yang akan dan telah menyelam.

· Keberadaan alat menjadi tanggung jawab yang memakai, apabila tim berikutnya belum menerima alat maka jangan meninggalkan alat tersebut

· Pemakaian alat dilakukan ditempat yang aman dari terumbu karang.

· Pergantian alat dimulai dengan melepas weight belt lalu diserahkan pada tim selanjutnya dengan posisi memegang bagian ekor sabuk dan bukan bagian kepalanya, dengan dibantu oleh tim yang selesai menyelam.

· Pada kondisis tertentu alat dapat disimpan didermaga dengan ditutupi terpal agar terlindung dari panas dan diawasi.

· Saat kondisi harus exit di kapal maka pada kondisi normal (tidak berombak) tim merapat ke kapal dan satu persatu melepas alat sesuai dengan prosedur diatas dengan dibantu 2-3 orang dari atas kapal dengan mengecek keadaan alat yang diterima dari tim yang selesai menyelam.

· Urutan dalam melepas alat dapat dimulai dari weight belt kemudian masker dan fins baru kemudian scuba.

· Saat kondisi berombak, helper dari kapal melempar tali kearah tim setelah itu berusaha mendekati kapal dengan berpergangan pada tali dan lakukan prosedur seperti pada kondisi normal.

· Posisi leader dan sweaper paling akhir

· Saat kondisi kapal jalan, maka jauhi propeller kapal.

· Helper mengecek ulang alat yang diterima satu persatu dari tim yang selesai menyelam.

· Setelah tiba di pulau, tim yang selesai menyelam dibantu untuk membawa alat yang telah dipakai oleh tim yang lain yang hendak menyelam.

· Usahakan tim yang telah menyelam disediakan minuman dan makanan.

· Lakukan evaluasi dan berikan konsekuensi atas segala yang diluar dari dive planning (aturan yang disepakati).

· Atur alat dengan posisi yang rapi dan tidak berantakan.

· Istirahat dengan secukupnya.

Sejarah SAR Nasional

Lahirnya organisasi SAR di Indonesia yang saat ini bernama BASARNAS diawali dengan adanya penyebutan ?Black Area? bagi suatu negara yang tidak memiliki organisasi SAR.

Dengan berbekal kemerdekaan, maka tahun 1950 Indonesia masuk menjadi anggota organisasi penerbangan internasional ICAO (International Civil Aviation Organization). Sejak saat itu Indonesia diharapkan mampu menangani musibah penerbangan dan pelayaran yang terjadi di Indonesia.

Sebagai konsekwensi logis atas masuknya Indonesia menjadi anggota ICAO tersebut, maka pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 1955 tentang Penetapan Dewan Penerbangan untuk membentuk panitia SAR. Panitia teknis mempunyai tugas pokok untuk membentuk Badan Gabungan SAR, menentukan pusat-pusat regional serta anggaran pembiayaan dan materil.

Sebagai negara yang merdeka, tahun 1959 Indonesia menjadi anggota International Maritime Organization (IMO). Dengan masuknya Indonesia sebagai anggota ICAO dan IMO tersebut, tugas dan tanggung jawab SAR semakin mendapat perhatian. Sebagai negara yang besar dan dengan semangat gotong royong yang tinggi, bangsa Indonesia ingin mewujudkan harapan dunia international yaitu mampu menangani musibah penerbangan dan pelayaran.

Dari pengalaman-pengalaman tersebut diatas, maka timbul pemikiran bahwa perlu diadakan suatu organisasi SAR Nasional yang mengkoordinir segala kegiatan-kegiatan SAR dibawah satu komando. Untuk mengantisipasi tugas-tugas SAR tersebut, maka pada tahun 1968 ditetapkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor T.20/I/2-4 mengenai ditetapkannya Tim SAR Lokal Jakarta yang pembentukannya diserahkan kepada Direktorat Perhubungan Udara. Tim inilah yang akhirnya menjadi embrio dari organisasi SAR Nasional di Indonesia yang dibentuk kemudian.

Pada tahun 1968 juga, terdapat proyek South East Asia Coordinating Committee on Transport and Communications, yang mana Indonesia merupakan proyek payung (Umbrella Project) untuk negara-negara Asia Tenggara. Proyek tersebut ditangani oleh US Coast Guard (Badan SAR Amerika), guna mendapatkan data yang diperlukan untuk rencana pengembangan dan penyempurnaan organisasi SAR di Indonesia.

Kesimpulan dari tim tersebut adalah :

1. Perlu kesepakatan antara departemen-departemen yang memiliki fasilitas dan peralatan;
2. Harus ada hubungan yang cepat dan tepat antara pusat-pusat koordinasi dengan pusat fasilitas SAR;
3. Pengawasan lalu lintas penerbangan dan pelayaran perlu diberi tambahan pendidikan SAR;
4. Bantuan radio navigasi yang penting diharapkan untuk pelayaran secara terus menerus.



Dalam kegiatan survey tersebut, tim US Coast Guard didampingi pejabat - pejabat sipil dan militer dari Indonesia, tim dari Indonesia membuat kesimpulan bahwa :

1. Instansipemerintah baik sipil maupun militer sudah mempunyai unsur yang dapat membantu kegiatan SAR, namun diperlukan suatu wadah untuk menghimpun unsur-unsur tersebut dalam suatu sistem SAR yang baik. Instansi-instansi berpotensi tersebut juga sudah mempunyai perangkat dan jaringan komunikasi yang memadai untuk kegiatan SAR, namun diperlukan pengaturan pemanfaatan jaringan tersebut.
2. Personil dari instansi berpotensi SAR pada umumnya belum memiliki kemampuan dan keterampilan SAR yang khusus, sehingga perlu pembinaan dan latihan.

Peralatan milik instansi berpotensi SAR tersebut bukan untuk keperluan SAR, walaupun dapat digunakan dalam keadaan darurat, namun diperlukan standardisasi peralatan.

Hasil survey akhirnya dituangkan pada ?Preliminary Recommendation? yang berisi saran-saran yang perlu ditempuh oleh pemerintah Indonesia untuk mewujudkan suatu organisasi SAR di Indonesia.

Berdasarkan hasil survey tersebut ditetapkan Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 1972 tanggal 28 Februari 1972 tentang pembentukan Badan SAR Indonesia (BASARI). Adapun susunan organisasi BASARI terdiri dari :

1. Unsur Pimpinan
2. Pusat SAR Nasional (Pusarnas)
3. Pusat-pusat Koordinasi Rescue (PKR)
4. Sub-sub Koordinasi Rescue (SKR)
5. Unsur-unsur SAR

Pusarnas merupakan unit Basari yang bertanggungjawab sebagai pelaksana operasional kegiatan SAR di Indonesia. Walaupun dengan personil dan peralatan yang terbatas, kegiatan penanganan musibah penerbangan dan pelayaran telah dilaksanakan dengan hasil yang cukup memuaskan, antara lain Boeing 727-PANAM tahun 1974 di Bali dan operasi pesawat Twinotter di Sulawesi yang dikenal dengan operasi Tinombala.

Secara perlahan Pusarnas terus berkembang dibawah pimpinan (alm) Marsma S. Dono Indarto. Dalam rangka pengembangan ini pada tahun 1975 Pusarnas resmi menjadi anggota NASAR (National Association of SAR) yang bermarkas di Amerika, sehingga Pusarnas secara resmi telah terlibat dalam kegiatan SAR secara internasional. Tahun berikutnya Pusarnas turut serta dalam kelompok kerja yang melakukan penelitian tentang penggunaan satelit untuk kepentingan kemanusiaan (Working Group On Satelitte Aided SAR) dari International Aeronautical Federation.

Bersamaan dengan pengembangan Pusarnas tersebut, dirintis kerjasama dengan negara-negara tetangga yaitu Singapura, Malaysia, dan Australia.

Untuk lebih mengefektifkan kegiatan SAR, maka pada tahun 1978 Menteri Perhubungan selaku kuasa Ketua Basari mengeluarkan Keputusan Nomor 5/K.104/Pb-78 tentang penunjukkan Kepala Pusarnas sebagai Ketua Basari pada kegiatan operasi SAR di lapangan. Sedangkan untuk penanganan SAR di daerah dikeluarkan Instruksi Menteri Perhubungan IM 4/KP/Phb-78 untuk membentuk Satuan Tugas SAR di KKR (Kantor Koordinasi Rescue).

Untuk efisiensi pelaksanaan tugas SAR di Indonesia, pada tahun 1979 melalui Keputusan Presiden Nomor 47 tahun 1979, Pusarnas yang semula berada dibawah Basari, dimasukkan kedalam struktur organisasi Departemen Perhubungan dan namanya diubah menjadi Badan SAR Nasional (BASARNAS).

Dengan diubahnya Pusarnas menjadi Basarnas, Kepala Pusarnas yang semula esselon II menjadi Kepala Basarnas esselon I. Demikian juga struktur organisasinya disempurnakan dan Kabasarnas membawahi 3 pejabat esselon II. Dalam perkembangannya keluar Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 80 tahun 1998 tentang Organisasi Tata Kerja Basarnas, yang salah satu isinya mengenai pejabat esselon II di Basarnas, yaitu :

1. Sekretaris Badan;
2. Kepala Pusat Bina Operasi;
3. Kepala Pusat Bina Potensi

SAR: Biar Lambat, Asal ...

23 April 1977
PRESIDEN Soeharto, yang menaruh perhatian khusus sejak mula, pekan lalu menyatakan kagum. Menteri Perhubungan Emil Salim memuji. Dan banyak orang menunjukkan penghargaan kepada para anggota tim SAR dalam mencari dan menolong mereka yang nyaris hilang dalam kecelakaan pesawat Twintter MNA di Gunung Tinombala. Ini adalah usaha SAR yang terbesar selama ini. Hampir sebulan lamanya, telah dikerahkan satu heli raksasa Puma dan 4 buah heli biasa dari jenis Allouette dan Bolkow. Turut serta hampir 50 orang anggota pasukan Kopasgat dan Linud yang didatangkan dari Jakarta, Bandung dan Ujung Pandang. Juga: kesatuan Kodim setempat, 40 orang yang dipimpin Pelda Mathius. Memasuki minggu ke-4 setelah kecelakaan 29 Maret itu, dari 23 orang (penumpang dan awak), tercatat 12 orang meninggal dunia, 10 orang selamat dan seorang lagi belum ditemukan. Mereka yang meninggal adalah: Husni Alatas, Harsoyo, Nyonya Kim Peng, Nyonya Chaerul Tiwi, Nyonya Teki Andaya, Nyonya Tini Angjaya, Jani Angjaya, Mety Anaya, Sumarto Kolopaking, kapten pilot Ahmad Anwar dan juru mesin Irawan. Mereka yang hidup: Hasan Tawil, Haji Saleh Midu, Han Tek Lay, Hartono, dr. Dwiwahyono, Suryadianto, Nyonya Husni Alatas, Munzir Hanafi, Sugiono serta ko pilot Masykur. Menurut berita terakhir dari Palu, seorang penumpang yang masih belum diketahui nasibnya (karena meninggalkan pesawat) adalah Teki Anaya, seorang pengusaha dari Gorontalo. Tapi toh, kerja tim SAR tak dapat dikatakan cepat. Adanya sejumlah orang yang mati bukan karena luka, tapi karena terlalu lama tak tertolong dan kelaparan, merupakan inti tragedi kisah ini. Mungkin sadar akan kelambatan kerja SAR, keluarga Teki Andaya mencoba mempercepat pencarian. Mereka mengadakan sayembara berhadiah. Mula-mula dijanjikan hadiah Rp 500.000 bagi yang menemukan Teki dalam keadaan hidup. Pasaran melonjak cepat kemudian, jadi Rp 5 juta. Ternyata usaha ini ditangguk orang-orang yang suka duit. Tiap calon pencari diberi uang bekal rata-rata Rp 15.000, tapi di antara mereka ada yang cuma berputar-putar sedikit di hutan, lalu kembali lagi dengan laporan: "belum berhasil". Dan minta bekal lagi. Tak salah lagi: lokasi sulit, cuaca buruk dan SAR kurang peralatan. Dirjen Perhubungan Udara, Kardono, sendiri tiba-tiba berkata: "Peralatan SAR perlu mendapat perhatian, personalia harus dididik secara baik dan teliti". Mungkin suara ini tak perlu dianggap baru - meskipun tetap benar. Sejak 22 tahun yang lalu, ketika Dewan Penerbangan pertama kali terbentuk, soal SAR ini sudah jadi fikiran. Usaha ini dilanjutkan di tahun 1959 oleh beberapa orang pejabat penerbangan sipil dan militer. Sayang lama tak berkelanjutan. Tak ada biaya. Tahun 1970 lahiir pilot proyek SAR Jakarta dengan mendirikan Pusat Kordinasi Rescue yang kemudian berubah menjadi Kantor Kordinasi Rescue (PKR). Dua tahun berikutnya (1972) melalui Keputusan Presiden organisasi ini lebih disempurnakan dengan lahirnya Badan SAR Indonesia (BASARI). Badan ini merupakan kerjasama antar departemen yang bertugas mengkordinir pencarian dan pemberian pertolongan sesuai dengan peraturan SAR internasional. Tahun 1974 sebagai badan pelaksana dari BASARI, didirikan Pusat SAR Nasional (PUSARNAS) di tingkat pusat. Untuk tingkat wilayah dibentuk Kantor Kordinasi Rescue (KKR). Pusarnas yang dipimpin Marsekal Pertama Dono Indarto bertanggungjawab kepada Meteri Perhubungan. Pembiayaan Basari, administratif maupun operasionil jadi beban anggaran Departemen Perhubungan. Sedangkan pembinaan unsur-unsur SAR menjadi tanggung jawab masing-masing departemen atau instansi yang bersangkutan. Menurut Kolonel (Pol) Tono Amboro, Komandan Komando Satuan Udara, Polri (salah satu unsur Pusarnas) hingga kecelakaan di gunung Tinombala itu terjadi Pusarnas memang baru berfungsi sebagai kordinator saja. "Belum punya pesawat satupun", katanya. Menurut Tono, tak ada salahnya bila Pusarnas memiliki pesawat sendiri. "Ada satu saja sudah lumayan, asal pesawat mutakhir dan betul-betul merupakan versi untuk SAR", tambahnya. Sementara itu menurut Letkol (U) Q. Soenarto, Kepala Bidang Operasi Pusarnas pesawat khusus SAR itu sangat mahal dan hanya dapat dibeli berdasarkan pesanan. Pesawat ini dilengkapi radar pencari yang dalam jarak 5 menit dapat melihat benda kecil. Juga dilengkapi lampu kabut dengan pilot yang harus memakai kacamata infra merah. Soenarto mengakui Pusarnas masih serba kekurangan. Selain tak punya pesawat, katanya, alat-alat komunikasi masih kurang. Juga jumlah personil sangat tak memadai. "Jumlah personil yang minimalpun kami tak punya", tutur Soenarto. Sementara itu, menurut sumber TEMPO yang tak mau disebut namanya bila saja waktu kecelakaan Twin Otter itu terjadi Pusarnas sudah memiliki satu saja pesawat SAR plus dana dan personil yang cukup, penanggulangan musibah itu tak akan mencapai belasan hari. Meskipun kemudian Menteri Perhubungan Emil Salim memuji hasil kerja tim SAR sebagai "prestasi yang gemilang", namun saat-saat kritis bukannya tak pernah dialami. Terutarna ketika berkali-kali usaha penerjunan pasukan dan usaha lewat darat ke tempat kecelakaan gagal. Pada saat inilah baru terlintas di kepala pimpinan SAR untuk meminta bantuan dari Wanadri, itu perhimpunan pemuda pendaki gunung. Terlintas juga fikiran untuk minta bantuan US Air Force yang berpangkalan di Pilipina. Tapi niat itu belum terlaksana. Yang nongol ialah seorang pilot Amerika, John Anderson, karyawan perusahaan minyak Arco di Tarakan, yang berpengalarnan di Perang Vietnam. Ia berhasil mengapungkan Allouette-nya di atas lokasi. Koptu Dominikus dan Serda Sunardi pun -- dari Kopasgat - turun melalui tali di pucuk pohon yang terletak 20 meter di bawah lewat seutas tali. Dari pohon sekitar 50 meter itu mereka meluncur. Mereka sampai pada 100 meter dari tempat pesawat jatuh. TAPI di tempat runtuhan pesawat itu, pekerjaan masih berat. Kedua anggota Kopasgat itu harus segera bekerja membuat landasan darurat heli (helipad) untuk pertolongan selanjutnya. Tapi gergaji yang mereka bawa tiba-tiba macet di hari pertama, sedangkan luas helipad paling tidak harus 4 x 4 meter. Mendapat laporan tentang kesulitan membangun helipad ini, SAR sempat pula merancang satu usaha yang mirip usaha gila. Sekalipun helipad tak bisa dibangun, tapi pasukan sudah bisa turun ke tempat lokasi. Tim merencanakan penurunan pasukan yang lebih banyak. Tanpa helipad para korban akan diusahakan penyelamatannya melalui kursi yang dipasang di ujung tali yang menjulur dari pesawat yang mengapung di udara. Ke kursi itulah nantinya korban akan diusung dan diikatkan, lantas dikatrol ke heli. Untunglah rencana edan ini tak sempat terjadi. Tapi heli Allouette memang sempat latihan dengan usaha penyelamatan begini. Semangat pasukan penolong memang berkobar-kobar, sampai-sampai mereka agak lalai terhadap atasan. Anak buah Mayor Mulyono yang hendak turun ke lokasi dan memberikan bantuan dalam pembuatan helipad ternyata dilarang turun oleh Letnan Jopie sebagai instruktur. Dia melihat tehnik turun lewat tambang dari anak buah Mulyono tidak sempurna. Mereka agak kesal dengan peristiwa itu. Tapi ketika Emil Salim dan Dono Indarto sedang asyiknya menikmati papaya, pisang dan jagung bakar yang disuguhkan para transmigran Ongka pada siang hari 14 April, sekitar jam 13.35 waktu setempat, tiba-tiba ada panggilan dari radio SAR I dekat tempat kecelakaan. Dono mendapat laporan bahwa Mayor Mulyono sudah mencapai tempat kecelakaan setelah berjalan dua malam. Meletakkan gagang telepon itu, Dono kemudian duduk kembali dekat Emil Salim. Perwira tinggi yang pendiam itu mengatakan kepada Menteri Perhubungan bahwa anak buahnya itu telah berangkat tanpa setahunya. Tetapi ketidak-disiplinan ini ternyata membawa buah jua. Merekalah yang menemukan Nyonya Tiwi dan empat korban lagi yang sudah meninggal di kaki gunung Tinombala. Merekalah yang membantu para korban itu diturunkan. Mereka membungkus dan mengikatkannya pada seutas tali sepanjang 60 meter yang dijulurkan dari pesawat heli. Dalam keadaan tergantung seperti itu mayat tadi dibawa terayun-ayun sampai ke Ongka Malino. Sebelum mencecah tanah jenazah itu disambut oleh pasukan dan cepat ditampung dengan tandu. Di perkampungan ini jenazah yang dibungkus kain selimut, plastik dan karung ditabur kopi untuk menghilangkan bau, dan selanjutnya di sebuah pos dimasukkan ke dalam peti jenazah setelah karungnya diganti dengan plastik. Dan diterbangkan ke tempat tujuan. Kedatangan Emil Salim di Ongka Malino 12 April membuat arah baru bagi rencana SAR semula. Kepada para keluarga korban yang datang menemuinya berkali-kali dia mengatakan: "Akan mengusahakan sekuat mungkin jenazah dibawa turun". Hal ini terutama dia ucapkan kepada Abdul Rachman Alatas, orang tua Husni Alatas. Sebab sebelum dia datang ke Toli-Toli keluarga besar Alatas di Toli-Toli & Palu mendengar berita bahwa korban akan dikubur di tempat kecelakaan. Direktur Utama MNA, Marsekal Muda Ramli Sumardi, berpakaian tempur, dengan pistol di pinggang terbang dan menginap di lokasi. Dia mengikuti proses penyelamatan jenazah dari pesawat yang malang tersebut. Seberapa besar kecelakaan ini makan ongkos MNA, belum diketahui. Frekwensi penerbangan perintis yang 2 kali seminggu jika dulu selalu padat penumpang, sejak kecelakaan hingga sekarang tinggal sedikit. Malahan menurut seorang agen penjualan karcis, satu kali pernah hanya ditumpangi 3 orang penumpang. Orang sekarang merasa lebih aman lewat laut. Kecuali barangkali rute pesawat terbang akan dialihkan ke arah pantai barat, sebagaimana sudah direncanakan oleh Menteri Perhubungan. Dengan risiko 8 menit lebih lama. Tentu saja pesawat harus dilengkapi sebaik-baiknya. Sebab Twin Otter MNA yang celaka itu ternyata hanya membawa Parachute Flare Red yang sudah habis waktu bulan Pebruari 1974. Alat ini dalam kecelakaan bisa dipakai sebagai aba-aba minta bantuan. Kalau gagangnya dilepas dia akan melemparkan parachute yang membawa benda bersinar merah.

Konvensi International Mengenai Keselamatan di Laut

tabloid diplomasi
Robert C.Beckman
Director of Centre for International Law (CIL), National University of Singapore

REJIM legal internasional menggunakan UCLOS Art 98 dalam upaya Search and Rescue (SAR), yang mengatur bahwa setiap negara membutuhkan nakhoda yang dapat melakukan tindakan SAR sejauh ia dapat melakukannya tanpa membahayakan kapal, awak kapal, atau penumpang dalam hal; (a) untuk memberikan bantuan kepada orang yang ditemukan tersesat di laut; (b) untuk secepatnya melakukan tindakan penyelamatan terhadap orang yang mengalami kesusahan, jika ada informasi mengenai kebutuhan dan permintaan bantuan terhadapnya, sejauh tindakan tersebut dapat dilakukan secara wajar; (c) untuk memberikan bantuan kepada kapal lain, awak dan penumpangnya, setelah terjadinya tabrakan kapal.

Setiap negara pantai harus mendorong terwujudnya pemeliharaan operasi pencarian yang efektif dan layanan penyelamatan yang memadai dalam hal keselamatan di laut melalui pengaturan kerjasama regional dengan negara-negara tetangganya.

Konvensi international mengenai keselamatan di laut adalah Safety of Life at Sea (SOLAS), 1974, dimana secara umum, SOLAS dianggap sebagai perjanjian yang paling penting di IMO dalam hal pengaturan keamanan kapal dagang. Konvensi ini diadopsi pada 1 November 1974 dan diberlakukan pada 5 Mei 1980, serta terus-menerus diperbarui melalui amandemen. Pada 30 Juni 2010, sebanyak 159 negara pihak telah mengadopsi SOLAS, termasuk semua negara-negara ASEAN, kecuali Laos PDR.

Regulasi V/33.1 menyebutkan bahwa Nakhoda kapal yang tengah berada di laut dan berada dalam posisi yang memungkinkan untuk memberikan bantuan, ketika menerima informasi bahwa ada orang yang tengah mengalami kesulitan di laut, mereka pasti akan berupaya memberikan bantuan secepatnya dan memberitahukan bahwa kapal mereka segera melakukan upaya pencarian dan penyelamatan terhadap orang-orang yang mengalami musibah di laut tersebut.

Bab V Pasal 7 dari SOLAS menyatakan bahwa tugas pencarian dan penyelamatan itu merupakan tanggung jawab pemerintah. Hal ini untuk memastikan bahwa pengaturan yang diperlukan dibuat untuk mengkomunikasikan musibah yang terjadi dan melakukan koordinasi dengan pemerintah mengenai tanggung jawab untuk menyelamatkan orang-orang yang tengah berada dalam kesulitan di sekitar pantai atau di laut. Pengaturan ini mencakup pembentukan, operasi dan pemeliharaan fasilitas SAR yang dianggap praktis dan diperlukan.

Konvensi internasional mengenai SAR di adopsi pada 1979 dan mulai diberlakukan pada 22 Juni 1985. Konvensi ini kemudian dirubah melalui resolusi Maritime Safety Committee IMO pada 1998 dan diberlakukan pada 1 Januari 2000. Kemudian dirubah kembali pada 2004, dan diberlakukan pada 1 Juli 2006. Pertanggal 30 Juni 2010, sudah sebanyak 95 negara yang menjadi para pihak di konvensi ini, termasuk Singapura dan Viet Nam.

Konvensi SAR 1979 ini dimaksudkan untuk membangun sistem internasional dengan standar dan prosedur yang umum. Tujuannya adalah untuk mengembangkan International SAR Plan sehingga operasi penyelamatan terhadap orang-orang yang tengah berada dalam musibah di laut akan dikoordinasikan oleh organisasi SAR, dan bila perlu dengan melakukan kerjasama organisasi SAR antar negara.

Ada beberapa negara yang tidak meratifikasi Konvensi SAR 1979 ini, karena mereka beranggapan bahwa tanggungjawab negara sebagai para pihak dalam konvensi ini terlalu besar. Pada perubahan 1998 yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2000 dijelaskan, bahwa tanggung jawab pemerintah dalam hal ini lebih ditekankan pada pendekatan regional dan koordinasi antara operasi SAR maritim dan aeronautika.

Kerjasama SAR 1979 adalah upaya mendorong para pihak untuk masuk ke dalam perjanjian SAR dengan melibatkan negara tetangga dalam pembentukan SAR regional, pengumpulan fasilitas, pembentukan prosedur umum, serta kerjasama pelatihan dan kunjungan penghubung.

Kerjasama SAR 1979 memuat rincian langkah-langkah persiapan yang harus diambil, termasuk pendirian RCCs (Rescue Co-ordination Centres) dan sub-sub RCCs,serta penjabaran prosedur operasi yang harus diikuti dalam hal keadaan darurat atau siaga selama operasi SAR.
Kerjasama SAR 1979 membutuhkan para pihak untuk mengkoordinasikan organisasi SAR, dan bila perlu melakukan operasi SAR bersama-sama dengan negara tetangga. Kecuali jika ada persetujuan antara negara yang bersangkutan, bahwa para pihak memiliki otoritas sesuai dengan hukum nasional dan peraturan yang berlaku, untuk langsung masuk ke dalam wilayah teritorial laut pihak lain, semata-mata hanya untuk melakukan operasi SAR.

Perubahan SAR 1979 hingga 2004, dimaksudkan untuk memastikan bahwa dalam setiap kasus disediakan tempat yang aman bagi orang yang diselamatkan dalam waktu yang wajar. Para pihak akan berkoordinasi dan bekerjasama untuk memastikan bahwa nakhoda kapal yang memberikan bantuan dengan menaikkan orang-orang yang mengalami musibah di laut dibebaskan dari kewajiban penyimpangan pelayaran lebih lanjut dari kapal dimaksud, asalkan pembebasan kewajiban nakhoda kapal tersebut tidak membahayakan keselamatan hidup di laut.

Pihak yang bertanggung jawab atas wilayah SAR di mana orang-orang yang diselamatkan itu ditemukan memiliki tanggung jawab untuk menyediakan tempat yang aman, atau memastikan disediakannya tempat yang aman. Setelah mengadopsi Konvensi SAR 1979, Komite Keselamatan Maritim IMO membagi lautan dunia menjadi 13 wilayah SAR, dimana masing-masing negara memiliki batas wilayah SAR yang menjadi tanggung jawabnya. Sebagian besar negara-negara ASEAN telah menetapkan Search and Rescue Region (SRR) mereka, namun beberapa SRR yang ada tersebut ternyata tumpang tindih.

SRR tersebut dinyatakan tanpa mengurangi sengketa maritim dan klaim batas maritim, dan bila tidak ada perjanjian mengenai SRR ini, maka negara-negara yang bertetangga didorong untuk membuat perjanjian kerjasama. Global Maritime Distress and Safety System (GMDSS) adalah jaringan komunikasi darurat otomatis kapal-kapal di seluruh dunia. GMDSS ini diperkenalkan melalui amandemen Konvensi SOLAS yang telah diadopsi pada 1988 dan mulai diberlakukan pada 1 Februari 1992, namun demikian GMDSS baru mulai beroperasi secara penuh pada 1 Februari 1999.

GMDSS memiliki dua tujuan, yaitu untuk memetakan wilayah-wilayah yang telah memiliki jaringan GMDSS dan untuk menentukan apakah kapal harus membawa peralatan radio GMDSS sebagai persyaratan tambahan. Sebelum ada GMDSS, jumlah radio dan jenis peralatan keselamatan yang harus dibawa oleh kapal tergantung dari tonase kapal. Dengan GMDSS, jumlah dan jenis peralatan keselamatan kapal serta radio yang harus dibawa oleh kapal tergantung pada kawasan GMDSS di mana mereka melakukan perjalanan.

Pertanggal 1 Februari 1999, semua kapal laut penumpang dan kapal barang yang beroperasi pada pelayaran internasional mulai dari 300 tonase gross ke atas, harus membawa peralatan yang dirancang untuk meningkatkan peluang penyelamatan terhadap terjadinya suatu kecelakaan, termasuk radio satelit Emergency Position Indicating Radio Beacons (EPIRBs), dan Search and Rescue Transponders (SARTs). Jika terjadi insiden musibah, GMDSS memungkinkan dilakukannya pencarian dan penyelamatan melalui otoritas darat, serta melakukan pengiriman informasi langsung ke sekitar wilayah dimana kapal mengalami musibah, dan memberikatan peringatan melalui satelit dan komunikasi terestrial.

Dalam hal terjadinya suatu musibah, seluruh operasi dikoordinasikan oleh RCC yang ditunjuk dan diinformasikan untuk siaga, baik melalui system Inmarsat, COSPAS-SARSAT atau dari stasiun radio pantai yang berpartisipasi dalam GMDSS. Pencarian itu sendiri dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh Konvensi SAR dan diperkuat dengan IAMSAR secara manual.

GMDSS menyediakan sarana komunikasi untuk mengetahui di mana kapal yang mendapat musibah itu berada, jadi GMDSS dan SAR 1979 itu saling melengkapi. Konvensi SAR 1979 memang dirancang untuk menyediakan sebuah sistem global yang dapat merespon keadaan darurat. Sementara GMDSS dibentuk untuk mendukung SAR 1979 dengan komunikasi yang efisien. Jadi efektivitas SAR 1979 dan GMDSS ini tergantung pada ratifikasi dan seberapa baik implementasinya.

Pendekatan umum untuk pengembangan operasi SAR maritim dan penerbangan didasarkan pada tiga konvensi, yaitu: Konvensi SOLAS (V/33), Konvensi SAR 1979, dan Lampiran-12 Konvensi Chicago tentang Penerbangan Sipil Internasional. International Maritime Organization (IMO) dan International Civil Aviation Organization (ICAO) telah membentuk Working Group bersama guna harmonisasi operasi SAR maritim dan aeronautika melalui penyiapan pembentukan International Aeronautical and Maritime Search and Rescue (IAMSAR) secara manual.

Kerjasama SAR ASEAN dilakukan berdasarkan ASEAN Agreement 1975 yang ditandatangani di Kuala Lumpur pada 15 Mei 1975. Perjanjian ini memfasilitasi operasi pencarian kapal yang mengalami musibah dan penyelamatan para korban kecelakaan kapal, dan diratifikasi oleh Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Myanmar, Thailand dan Viet Nam.

Deklarasi tersebut adalah demi kepentingan para Pihak dalam melakukan langkah-langkah pemberian bantuan kepada kapal yang mengalami musibah di wilayah mereka dan juga tindakan yang tepat dan memungkinkan untuk dapat dilakukan oleh para pemilik kapal atau pihak berwenang di mana kapal tersebut terdaftar untuk mempersiapkan langkah-langkah bantuan yang harus dilakukan dalam keadaan seperti itu.

Perjanjian Kerjasama tahun 1975 mengatur bahwa suatu Pihak harus tunduk pada kendali otoritas mereka sendiri, seperti izin masuk pesawat dan kapal, peralatan dan personil yang diperlukan untuk mencari kapal yang mengalami musibah, penyelamatan korban kecelakaan kapal ke seluruh wilayah, juga wilayah lainnya yang dilarang yang diyakini bahwa kapal atau korban berada.

Para Pihak wajib membuat perjanjian untuk memastikan mereka dapat masuk ke suatu wilayah tanpa penundaan, sementara teknisi ahli yang diperlukan untuk pencarian dan penyelamatan melakukan koneksi dengan kapal yang mengalami musibah.
Cetak biru Politik-Keamanan 2009 merupakan dasar bagi dibentuknya ASEAN Maritime Forum yang menyerukan untuk dilakukannya langkah-langkah peningkatan kerjasama Keselamatan Maritim dan SAR melalui kegiatan seperti berbagi informasi, kerjasama teknologi dan pertukaran kunjungan pihak yang berwenang.
Negara-negara ASEAN juga telah membentuk Search and Rescue Regions (SRRs) dan Maritime Rescue Coordination Centres (MRCCs) yang menyarankan adanya kerjasama diantara negara-negara ASEAN di tingkat operasional SAR yang baik secara umum. Beberapa negara ASEAN bahkan telah memiliki protokol bilateral yang menetapkan mengenai prosedur masuknya unit penyelamatan ke wilayah otoritas masing-masing.
Langkah-langkah peningkatan kerjasama yang dilakukan adalah dalam hal kerjasama penggunaan fasilitas SRR setiap kali terlibat misi SAR. Meningkatkan arus dan pertukaran informasi yang ada selama operasi SAR. Meningkatkan kerjasama pengelolaan anggota keluarga dari orang yang diselamatkan atau hilang di laut, dan sering melakukan latihan regional SAR untuk menjamin efisiensi dan efektivitas komunikasi ang dan pengaturan operasi SAR.
Menetapkan pengaturan kerjasama praktis SAR di wilayah laut teritorial di mana terdapat batas maritime, di wilayah dimana terjadi tumpang tindih SRRs. Pengaturan praktis tersebut tidak harus mengurangi batas klaim maritim dan delimitasi batas maritim.
Peningkatan kerjasama akan lebih mudah dilakukan apabila ada kerangka hukum yang umum. Sebagian besar negara-negara ASEAN merupakan para pihak pada UNCLOS dan SOLAS, tapi hanya 2 negara ASEAN yang menjadi pihak pada SAR. Sebaiknya semua negara ASEAN yang tidak menjadi pihak pada Konvensi SAR 1979 harus benar-benar didorong untuk menjadi para pihak.
ASEAN harus mempertimbangkan penyusunan Perjanjian baru SAR ASEAN. Sementara itu, ASEAN juga harus mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kerjasama mereka, termasuk dalam hal: Penggunaan berbagai fasilitas dalam misi penyelamatan; Prosedur standar operasi untuk masuk ke perairan teritorial dan melakukan pertukaran informasi; Pengaturan di daerah perbatasan; Meningkatkan program pelatihan SAR; dan meningkatkan latihan SAR.

Minggu, 31 Oktober 2010

Vertikal Rescue

Penyelamatan di medan vertikal merupakan salah satu bentuk kegiatan yang paling berbahaya dari teknis penyelamatan. Tingkat pelatihan, kerjasama dan komitmen individu sangat diperlukan untuk menyelamatkan orang yang terjebak dalam lingkungan vertikal merupakan tugas yang penting, dan harus secara jelas dipahami bahwa tidak semua Rescuer mahir dalam teknik tersebut.

Dari semua atribut penyelamat vertikal, bakat yang tinggi dan standar mobilitas pribadi tinggi mungkin yang paling penting.

Tebing yang tingginya seratus meter, radio mast atau corong sama sekali asing bagi siapapun yang biasanya bekerja pada tempat yang datar, diperlukan banyak praktek sebelum individu menjadi nyaman berada di lingkungan itu.

Ditambahkan pertimbangan lingkungan ini merupakan faktor risiko. Sebuah kesalahan kecil pada permukaan tanah yang landai jarang berakibat serius, tetapi jika kesalahan terjadi pada ketinggian maka bisa mengahasilkan bencana.

Keterampilan merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan agar penyelamatan vertikal teruji dan aman, namun kinerja keterampilan ini juga bergantung pada sejumlah faktor utama.

Faktor-faktor utama yang terlibat dalam penyelamatan vertikal:
a. bakat dan mobilitas;
b. pelatihan dan pengalaman;
c. Mengenal dan akrab dengan peralatan;
d. disiplin dan kerja sama tim, dan
e. pendekatan dan taktik.